Selasa, April 06, 2010

Banyak Jalan Menuju Roma

Pilkada yang akan dilaksanakan tahun 2010 di kota dan kabupaten se Jawa Tengah menarik untuk diamati. Salah satunya adalah pengusungan partai politik terhadap calon kepala daerah. Sebagaimana diketahui bahwa selain calon independen, juga terdapat calon yang berasal dari parpol.
    Persoalan calon independen menarik untuk kita simak.Mereka dengan sekuat tenaga membentuk tim sukses, mencari dukungan, menyusun strategi 'tempur', bahkan  bisa kampnye dilapangan pun akan mereka lakukan sendiri.
    Demikian beratnya berbagai tantangan dilalui oleh calon independen menjadikan peluang itu tak banyak yang menggunakannya, kecuali bagi mereka yang benar-benar bermental petarung dan selalu optimis dalam segala tindakannya.
    Karena itu para bakal calon kepala daerah lebih ingin diusung oleh partai politik, tentu saja dengan konsekuensi mereka akan lebih banyak mengeluarkan kocek untuk mendapatkan tiket dari parpol yang bersangkutan. Alasan lain tentu saja calon pendukung dianggap semakin jelas, setidaknya adalah dari para konstituen parpol. Belumlagi pendukung dari luar parpol pengusung. Sehingga dari sini bisa diprediksi berapa kekuatan yang akan bisa diperolehnya.
    Melalui parpol juga akan memperingan proses kampanye. Sebab dari sana kader partai kan turun ke jalan untuk menjaring massa. Mesin kemenangan akan terus bergerak meluas.
    Melihat kenyataan tersebut, suara dari partai politik diprediksikan lebih tinggi daripada ketika ia maju dari jalur independen. Karena dari parpol anggotanya jelas dan sukungan yang diberikan pun biasanya penuh.
    Hanya saja hal inijuga masih tergantung dari kinerja tim sukses dan popularitas calon. Calon independen tidak serta merta pesimistis jika lawan yang ada di depannya tidak sepopular dirinya. Bagi yang belum popular tidak perlu berkecil hati, karena popular itu pun tidak perlu dibangun bertahun-tahun sebelumnya. Istilahnya, dalam hitungan menit popularitas itu bisa dibangun. Ia bisa diburu dari sebuah kreativitas dan improvisasai pemainnya. Dan tentunya akan lebih mudah ia didapatkan, yaitu dengan membeli. Sepanjang koceknya tebal bakal calon walikota tak akan kesulitan membangun popularitas.
    Mekaninsmenya, parpol-parpol membuka pendaftaran calon pemimpin daerah. Berbagai persyaratan disebutkan agar calon kepala daerah dapat melengkapai apa saja yang dibutuhkan. Kemudian parpol akan memverifikasi  berkas, meninjau, dan akhirnya mengusung sebuah nama untuk didukung. Semuanya berproses, sebab banyak pertimbangan sebelum memutuskan memilih nama calon.
    Pemahaman selama ini, calon kepala daerah yang diusung adalah kader atau anggota yang sudah lama berada dalam partai politik, bukan calon dari luar yang meminta dipinang oleh partai. Namun yang terjadi parpol dengan terbuka menerima pendaftaran calon kepala daerah yang ingin didukung. Tentu saja dengan syarat-syarat tertentu.
    Sosok yang kharisma tidak cukup untuk membuat parpol melirik calon yang mendaftar. Selain kepribadian yang baik, tentu saja visi misi yang diusung sejalan dengan partai.
    Ketika calon dari luar meminta untuk didukung, banyak konsekuensi yang harus ditanggung. Terdapat kesepakatan yang akan disetujui bersama mengenai kelanjutan pengusungan. Yang menjadi pemandangan yang lumrah adalah proses mendapatkan tiket dari parpol. Sudah bukanrahsia lagi bahwa nilai rupiah sangat dominan, lebih-lebih jika pendaftarnya bukan berasal dari keluarga besar partai.
    Alasannya sederhana ketika rupiah dilibatkan dalam mengatasi kebuntuan itu, yatu bahwa partai membutuhkan dana besar untuk biaya operasionla partai baik yang terkait dengan pemilukada atau tidak. Nilainya tentu saja miliaran rupiah.
    Cara semacam ini sebenarnya sudah m embuka kran kebobrokan semakin lebar. Pembelian tiket sebenarnya tidak bis akita toleransi di era membangun demokrasi secara sehat. Perjalanan demokrasi yang tertatih-tatih in masih saja dicoreng pleh praktik jual beli tiket dalam proses pemilihan pimpinan.
    Logikanya, figur yang terpilih tidak akan begitu saja merelakan modal yang sudah dikeluarkannya, kecuali orientasi mereka murbi untuk membangun daerahnya. Mereka di hari kemudian akan mengotak-atok besaran modal, lalu bagaiman cara mengembalikannya, sekaligus untuk mendapatkan untug dari jabatan yang pernah direbutkan itu.
    Dari sini peluang untuk mengegah-eguhkan sumber dana dilakukan. Tak sedikit para pemimpin yang terjerumus korupsi, suap,dan nepotisme.
    Selain berpeluang korupsi diperkirakan juga kan muncul politik bals budi. Kepala daerah aikan mempermudah urusan apa yang diminta parpol. Objektivitas taka kan bisa terjamin lagi. Urusan dan keinginan parpol pengusunglah yang menjadi prioritas. Lagi-lagi dalam hal ini rakyat yang dirugikan.
    Yang jelas banyak jalan menuju roma. Waktu bukan menjadi ukuran mereka untuk bersosialisasi. Banyak cara instan umtuk mendapatkan tiket sebagai calon kepala daerah.

kontroversi penggabungan UN dan SNMPTN Belum Tepat Sasaran

Sejak akhir Ujian Nasional tahun lalu, muncul usulan agar ujian nasional digabung dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi. Hal ini merupakan itikad baik pemerintah agar beban siswa yang lulus tidak bertambah. Sebab, soal ujian nasional dan soal seleksi masuk perguruan tinggi berbeda. Soal ujian nasional berdasarkan apa yang dipelajari di sekolah, sedangkan soal ujian masuk perguruan tinggi didesain dengan pengerjaan penuh trik bahkan seringkali tidak dipelajari di bangku sekolah. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan agar siswa tidak hanya mengejar lulus sekolah, namun juga lolos perguruan tinggi. Banyak yang mengeluh soal tes masuk perguruan tinggi tidak sesuai di bangku sekolah.
Saat ini yang patut diperhatikan adalah tidak semua lulusan sekolah menengah akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada siswa yang sudah punya rencana setelah lulus bekerja atau rencana lain selain kuliah. Jika kuliah, tidak semua siswa melanjutkan di perguruan tinggi negeri.
Kebijakan untuk menggabungkan UN dan SNMPTN sebaiknya perlu ditinjau ulang, mengingat beberapa alasan tersebut. Jika digabung, maka mau tidak mau siswa ada keharusan masuk perguruan tinggi. Kemudian beban siswa akan semakin bertambah jika mereka tidak lulus. Itu berarti impian mereka untuk melanjutkan pendidikan pupus, sebab tahun depan masih mengulang dengan jumlah pesaing yang tidak sedikit. Nilai yang harus didapat pun harus tinggi, karena tiap perguruan tinggi punya pass in grade yang berbeda. Hal ini semakin menjadi beban siswa untuk mencapai target lulus dan lolos. Padahal, seringkali dijumpai siswa mendapat nilai ujian nasional beda tipis dengan standar kelulusan yang ditetapkan. Sementara di perguruan tinggi sendiri untuk kriteria calon mahasiswa syarat-syarat yang diperlukan bukan hanya dari nilai ujian nasional, misalnya kesehatan, fisik, IQ, dan lain sebagainya.
Lalu jika penggabungan benar terjadi, akan ada regulasi baru untuk lulusan sekolah menengah yang melanjutkan ke perguruan tinggi setahun atau dua tahun berikutnya. Dan mungkin akan ada pnghapusan jalur PMDK. Serta ada pula regulasi khusus untuk lulusan kejar paket C. Hal ini justru menjadikan akses mendapat kesempatan pendidikan yang sama semakin dibeda-bedakan.
Pemerintah perlu meninjau ulang dan memperhatikan semua lulusan sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan paket C. Jangan semakin mempersempit pilihan untuk melanjutkan pendidikan dengan peraturan baru yang kurang tepat sasaran.