Rabu, Januari 06, 2010

Tingkatkan Dunia Industri Kreatif

Adanya krisis global pelan-pelan berdampak pada setiap sektor perekonomian. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang juga merupakan sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terutama dirasakan oleh rakyat kecil.


Di Indonesia jumlah wirausaha hanya 0,18%, idealnya dibutuhkan 2% wirausaha untuk menggerakkan perekonomian di suatu negara. Wirausaha juga sebagai penopang ekonomi bangsa.

Menciptakan ikim untuk berusaha membuat orang mengoptimalkan kerja otak. Karena butuh kreativitas untuk mengatasi permasalahan hidup dan memanfaatkan peluang yang ada.

Industri kreatif tidak ada matinya. Sebab pada dasarnya manusia suka hal-hal yang berbau keindahan. Dengan adanya industri kreatif berarti telah menciptakan inovasi yang tepat guna, bermanfaat, dan tentu saja mampu menghidupi kebutuhan masyarakat.

Namun demikian, tidak hanya berinovasi, tetapi juga membangun jaringan, mengelompokkan bidang industri-industri kreatif tersebut. Disinilah peran pemerintah untuk membina, mengalokasikan, dan ikut serta memasarkan pada pihak yang tepat. Selain itu pendidikan kewirausahaan juga harus dimasukkan dalam kurikulum sejak di bangku sekolah.

Berlaku Seperti Guru

Arti pahlawan tidak sama dengan pemimpin. Karena sesungguhnya tiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Sedangkan pahlawan adalah orang yang dengan segenap kemampuannya berbuat banyak untuk orang lain di lingkungan sekitarnya. Lebih jauh lagi, pahlawan mampu menggerakkan orang-orang disekitarnya untuk berbuat jauh lebih baik. Sehingga perubahan terjadi ke arah yang semestinya.


Penganugerahan nama pahlawan selain karena jasa-jasa yang diberikan selama hidup, juga imbasnya dalam perilaku dan pemikiran masyarakat. Seseorang dicitrakan positif adalah berdasar informasi yang ada di sekelilingnya. Tentu saja hal tersebut dapat dilihat dari tindak nyata yang telah dilakukan.

Banyaknya pahlawan di Indonesia adalah berdasar apa yang telah diperbuat dalam hidupnya. Apa sumbangannya bagi negara.Gelar pahlawan tidak hanya disematkan untuk dihafalkan, tetapi adalah tentang bagaiamana jasanya dikenang dan perjuangannya tetap diwujudkan dalam keseharian oleh bangsa.

Penganugerahan gelar pahlawan selalu identik dengan usaha fisik yang dilakukan seseorang dan tentu saja yang menarik simpati penguasa. Lihatlah jasa pahlawan yang ada di Indonesia, dianugerahkan kebanyakan karena jasa fisiknya, tetapi melalui jasa pikiran tidak lebih banyak.

Kejahatan Soeharto terbayar oleh kebijakannya dulu semasa menjadi pemimpin oleh hal-hal yang tampak nyata oleh rakyat yaitu kesejahteraan rakyat. Mungkin oleh penguasa saat ini masih ada hal yang kurang pada jasa Bung Tomo untuk disebut sebagai pahlawan. Padahal Bung Tomo juga seperti pahlwan revolusioner yang lain, yang dengan gagah berani menghadapi penjajah di tanah air.

Sebenarnya apa kriteria menjadi pahlawan, apakah harus selalu dibawah tangan sang penguasa negri seseorang dianugerahi gelar pahlawan. Untuk hal demikian, rakyat yang harus bersuara. Karena seseorang yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik di dalam suatu tempat dapat disebut pahlawan. Baik melalui pemikuran maupun tindakan yang selalu menginspirasi rakyat untuk tetap berbuat baik.

Tidak menjadi soal ketika ada beberapa orang yang belum diakui sebagai pahlawan. Yang penting adalah anggapan rakyat mengenai seseorang layak disebut pahlawan atau tidak. Jadi sosok pahlawan sendiri melekat pada rakyat, bukan sekedar didengung-dengungkan oleh Presiden. Bersikap seperti guru, yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak mengharap namanya dicantumkan dalam daftar nama pahlawan, tetapi jasa-jasanya selalu diteruskan oleh anak bangsa.

Lalu bagaimana dengan Gus Dur?

Kejahatan Teknologi Pendidikan

Pendidikan yang berarti adalah suatu proses yang bereksinambungan, dari lahir sampai mati. Ketika pendidikan mulai berbelok ke arah yang tidak benar, yang terkena dampaknya adalah semua yang terlibat di dalamnya.Walaupun yang melakukan hanya segelintir orang yang kadang tidak bertanggung jawab.


Hal tersebut menunujukkan bahwa pendidikan rentan terhadap penipuan. Penipuan itu berarti pembodohan pada diri sendiri dan berujung pada ketidakpercayaan.

Hal tersebut memperlihatkan pula bahwa pendidikan kita masih lemah, belum maju. Terbukti masih saja ada saja celah yang dapat dimasuki oleh orang-orang yang licik.

Makna pendidikan sebenarnya ada dalam proses dan bukan hasil akhir. Dimana dalam proses diharapkan kualitas menjadi lebih baik. Jika fenomena ”aspal” (asli tapi palsu) masih saja terus terjadi yang perlu dikhawatirkan adalah kualitas dari kaum terdidiknya.

Sebagaimana terdapat ungkapan yang mengatakan bahwa guru berarti digugu dan ditiru (dianut dan ditiru). Jika ada kejadian aspal, maka pertanyaan yang muncul pertama kali adalah ”Siapa gurunya?”. Padahal guru tidak mengajarkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi murid asuhannya. Pada murid asuhannya lah pengetahuan menjadi dikembangkan, apakah menjadi baik ataupun buruk.

Sebenarnya apa yang diinginkan dari aspal tersebut? Tenar? Perlu disadari bahwa pendidikan itu penting, tapi jauh lebih penting adalah aplikasi dalam kehidupan dari pendidikan yang telah dienyam. Bagaimana dengan pengetahuan, sesuatu menjadi lebih berguna ke arah yang lebih positif dan mengurangi hal-hal yang dinilai negatif.

Kemajuan teknologi tidak seharusya dijadikan ajang kejahatan, apalagi dalam kejahatan memalsukan nilai. Kualitas seseorang tidak hanya dinilai dari besar kecilnya nilai yang diraih, tapi berdasarkan kualitas yang diantaranya terdapat dalam skill dan potensi.

Hal ini menjadi masukan penting bagi institusi agar lebih tanggap terhadap kejahatan teknologi. Misalnya dapat dimulai dengan suatu langkah perubahan memperketat sistem agar tidak kebobolan, disamping menggunakan nilai sebagai syarat utama.

Dan yang tak kalah penting adalah jauhkan dari uang pelicin. Segepok uang pelicin tidak menjamin kualitas. Ijazah ataupun hal yang mendukung dalam bentuk hitam diatas putih tidak bisa hanya dinilai dengan nominal uang. Bagi yang tidak mampu / memenuhi standar memang sebaiknya tahu diri. Karena keinginan tanpa kemampuan yang memadai tidak efektif.

Kontroversi Penggabungan S1 dan S2

Pernyataan rektor UI tentang penggabungan S1 dan S2 patut mendapat apresiasi dari lingkungan akademik. Dengan demikian masa studi tidak perlu terlalu lama dan tidak banyak menghabiskan biaya.

Namun yang menjadi permasalahan, sudah siapkah sumber daya manusia (SDM) di Negara kita? apakah dengan adanya penggabungan S1 dan S2 sudah menjamin kualitas sarjana-sarjaan yang dihasilkan? Atau bisa saja jikapenggabungan benar-benar terjadi, hanya mengejar kuantitas lulusan S2. Dengan harapan bahwa lulusan S2 banyak, berarti calon ilmuwan dan peneliti tidak kurang.

Bukan tentang gelar atau jumlah yang dikejar, tapi kualitaslah seharusnya yang harus ditingkatkan. Setiap birokrasi, akademisi, mahasiswa, dan praktisi punya kemauan untuk maju dan mengembangkan ilmunya. Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk menggerakkan penelitian, pemberian apresiasi yang besar untuk mahasiswa yang mau mengembangkan ilmunya atau menginspirasi lingkungan sekitarnya. Sehingga menuju jenjang S2 pun punya persiapan yang mantap.

Perbaikan yang diterapkan pada jenjang menengah. Setiap tahun banyak lulusan SMA yang tak terserap di perguruan tinggi karena terkendala biaya. Seharusnya hal-hal tersebut diatasi dengan cepat dan tak perlu berulang-ulang tiap tahun muncul. Pendidikan boleh murah asal kualitas bukan murahan.

Hal tersebut juga berlau untuk S1 ke S2. Biaya menjadi faktor penyebab sedikitnya jumlah mahasiswa S2 dibanding S1. Jika penggabungan S1 dan S2dilaksanakan, pemberian beasiswa yang harus digencarkan namun kualitas juga ditingkatkan.

Tetapi hal itu kembali lagi pada diri sendiri untuk mau memperdalam dan membangun ilmu yang sudah didapat.