Minggu, November 04, 2012

Potret Kecil Pendidikan Yang Tak Tersentuh di Kota Besar



Kota besar sering dijadikan sebagai salah satu panutan kualitas pendidikan di Indonesia, apalagi jika termasuk salah satu ibukota propinsi. Namun anggapan tersebut tak selamanya benar. Sekolah swasta yang selama ini independent dan dinilai unggul masih juga merasakan pahitnya kualitas kurikulum, guru, dan terutama muridnya.

Banyak murid yang berasal dari keluarga kurang mampu bahkan di garis kemiskinan sering terkena dampak ini. Berbagai alasan klise seperti membantu orangtua bekerja sepulang sekolah dengan menjadi tukang rumput hingga terlambat datang ke sekolah karena harus ke sawah terlebih dahulu. Proses penyerapan informasipun tak dapat maksimal, selain itu mereka juga masih sering bolos sekolah sebagai bagian dari hak yang ingin mereka dapatkan. Padahal mereka memiliki sepeda motor, rajin mengakses internet, dan memiliki telepon genggam. Bukan lingkungan yang terpencil dan jauh dari segala akses, namun berada pada lingkup kota dan bisa dikatakan sebagai sekolah pinggiran.

Hal ini saya alami ketika menggantikan guru yang KKN (kuliah kerja nyata) selama 1,5 bulan si sekolah SMA swasta di Semarang sebagai guru Bahasa Inggris tahun ini. Tanggung jawab yang besar pula ketika murid-murid tidak memiliki LKS (lembar kerja siswa) sebagai buku latihan. Lebih parah lagi, bahkan mereka sebenarnya kurang paham dengan pelajaran Bahasa Inggris sewaktu SMP!

Sedih rasanya melihat masih ada sekolah yang demikian di kota besar. Akhirnya saya mencoba mengkonseling mereka satu persatu, karena jumlah satu kelas tak lebih dari 15 orang. Sebenarnya efektif untuk kelas yang ideal, tapi jika tak ada kemauan untuk belajar dari murid hasilnya kurang maksimal.

Dari konseling yang saya lakukan ditemukan beragam cerita mengapa mereka masuk sekolah tersebut. Alasan pertama karena nilai UAN (ujian akhir nasional) mereka rendah, sehingga tidak cukup masuk sekolah negri. Kalaupun cukup, mereka tidak mampu membayar uang gedung karena tidak tahu penggunaan kartu miskin. Disini jelas terlihat bagaimana ekonomi orangtua mereka, karena siapapun yang beranggapan keluarganya pada kondisi bagaimana adalah benar. Ada beberapa yang mampu, namun tetap memasukkan anaknya di sekolah tersebut karena nilainya.

Hal ini menjadikan saya untuk setidaknya membuat mereka sedikit paham dengan Bahasa Inggris. Tak usah muluk-muluk seperti mengarang, cukup dengan meminta mereka menyebutkan vocab yang mereka tahu. Bahkan saya memancing mereka dengan banyak permainan seperti program Rangking 1 di salah satu stasiun tv swasta. Dengan cara membuat soal pilihan ganda di kertas yang saya jadikan papan, mereka tinggal menjawab pilihan tersebut dan menuliskan jawaban di kertas mereka lalu mengangakat jawaban. Tentu saja setelah sebelumnya saya beri materi.

Metode pengajaran yang selama ini terkesan berjauhan tempat duduk, saya buat melingkar seperti diskusi sehingga semua paham dan tidak malu merespon atau bertanya. Hasilnya cukup efektif, beberapa dari mereka mengakui lebih paham setelah duduk melingkar dalam belajar meskipun ada juga yang pasif dan tidak mau merespon karena takut ditunjuk atau ditanyai apapun. Betapa mental mereka masih perlu didukung.

Saya mencoba mengulangi materi dengan cepat karena sudah menjelang ujian semester. Materi-materi dari buku lain saya fotocopy, sebarkan pada mereka, dan membahas bersama. Respon mereka beragam, ada yang antusias, rajin bertanya, dan apatis. Ketika satu orang mengajak teman sebelahnya untuk tidak memperhatikan akan memengaruhi yang lain untuk melakukan hal yang sama. Ada rasa jengkel dan kecewa, namun saya putuskan untuk fokus pada yang mau belajar, karena saya yakin materi ini akan berguna nantinya.

Hal lain yang membuat mengelus dada adalah kedisiplinan yang mereka terapkan. Masuk pukul 7 namun murid akan penuh hingga hampir pukul 8. Berharap agar semua memahami, namun nihil. Kemudian pada jam pelajaran yang terpotong istirahat selam 15 menit, mereka akan melebihkan hingga 45 menit dan sudah tidak dapat dicegah. Jika jam istirahat diteruskan pelajaran dan waktu istirahat sedikit lebih panjang menjadi 30 menit, berdampak pada jam selanjutnya dan guru pada jam tersebut tidak terima.

Itu tadi adalah cerita untuk kelas sepuluh, sedangakan kelas sebelas lebih rajin untuk mencatat, memperhatikan, dan berpartisipasi, meskipun ada yang kurang paham. Mereka murid kelas sebelas ada kemauan bertanya atau membuka kamus. Bentuk permainan yang saya berikan lebih beragam daripada kelas sepuluh, seperti berkelompok bermain komunikata dan saya yang memberikan kalimatnya, disini bertujuan untuk melatih pronunciation untuk disampaikan kembali dan ditulis di papan.

Namun sungguh sedih ketika ulangan semester berlangsung. Murid-murid banyak yang gambling alias mengarang atau asal jawab, bahkan saling mencontek meskipun yang dijadikan rujukan salah. Pembuat soal adalah dinas pendidikan kota, yang berarti satu SMA di Semarang memiliki tipe soal tunggal. Banyak vocab yang benar-benar asing, karena soal ulangan uptodate. Bagaimana dapat mengerjakan jika selain vocab tidak tahu mereka juga tidak belajar jelang ulangan semester? Lebih menohok lagi ketika saya membacakan contoh soal ulangan yang berisi pendapat bahwa kemiskinan berkorelasi dengan rendahnya pendidikan.

Guru-guru lainpun mengatakan bahwa fenomena ini sudah wajar dan meyakinkan bahwa murid-murid sudah dipastikan remidi semua. Semakin sedih mendengarnya, lalu apa guna materi yang telah diajarkan? Benar saja, memang semua wajib remidi termasuk mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia dan Matematika.

Jelang pengisian raport, guru-guru tiap mata pelajaran berusaha membuat nilai mereka sesuai standar. Saya putuskan meskipun harus demikian, saya akan membuat mereka paham dengan apa yang mereka kerjakan. Pada sesi remidi, saya bagikan soal dan membacakan tiap murid untuk mengerjakan hanya soal yang salah. Kemudian saya bacakan aturan saya agar mereka mengerjakan sendiri dan saya bacakan terjemahan tiap soal agar mereka lebih memahami dalam Bahasa Indonesianya. Lebih baik demikian daripada remidi namun dengan gambling lagi dan remidi hanya formalitas. Guru-guru sudah pasrah dengan keadaan murid yang demikian, karena motivasi belajar murid yang sangat rendah.

Beberapa hasil tambahan konseling yang saya lakukan bahwa mereka tidak ada satupun yang ingin melanjutkan ke jenjang kuliah, bagi mereka cukuplah sekolah mendapat ijazah lalu membantu orangtua bekerja. Meskipun saya telah memancing jika mereka mendapat beasiswa full. Mereka juga curhat mengenai pengajaran guru lain yang tidak dapat dipahami tapi lebih memilih untuk diam.

Sempat terpikir untuk memberikan mereka semua kamus secara gratis dan menjadi inventaris sekolah, namun saya tangguhkan mengingat sebagian besar tidak ada keinginan untuk membuka apalagi membawa. Satu hal yang belum sempat saya lakukan adalah memberikan psikotes sederhana untuk mengetahui motivasi belajar mereka. Dalam pengamatan, Besarnya pengaruh teman-teman dalam peergroup membuat mereka malas belajar apalagi mengerjakan tugas.

Beruntung mereka tidak tejebak pada pergaulan bebas atau pengaruh obat terlarang dan berurusan dengan kepolisian. Kenakalan mereka masih wajar, yakni membolos dalam satu bulan minimal 5 kali hingga 16 kali dengan alasan malas belajar, malas dengan gurunya, dan berbagai alasan lain.

Saya hanya berharap mahasiswa yang berada di kampus keguruan (background saya bukan keguruan) untuk melakukan PPL (praktek pengalaman lapangan) di sekolah pinggiran, sekolah swasta yang masih diakui atau disamakan, bahkan belum memiliki akreditasi, sekolah dengan fasilitas yang minim karena saya yakin antusiasme mahasiswa masih tinggi untuk membuat perubahan di sekitarnya terutama dalam pengajaran. Treatement terhadap murid ber IQ standar cenderung rendah adalah dengan telaten, perhatian, dan sabar. Saya yakin mahasiswa PPL dapat melakukannya. 

Semoga hal tersebut juga dapat menginspirasi pendidik di sekolah tersebut untuk berbenah dengan apa yang dilakukan mahasiswa PPL nantinya, lebih professional tepatnya. Saya masih berharap mereka layak mendapatkan seperti halnya anak-anak yang sekolahnya menyandang gelar unggulan dari segala sisi.

Beautiful Indonesia



Indonesia have many potential to be developed. All people in the world should visited Indonesia to prove this statement! Tourism in Indonesia is so wonderful and amazing. We shouldn’t going abroad to see the miracle in another country. Indonesia already have it.

There are many tourism that government didn’t care about it. They don’t do intensive activities like promotion and offer facilities that could get it. Not only government but also the society in Indonesia. We can see many people proud after visited tourism abroad, they published their photos, told the unique food, tradition which different with us.

Indonesia also have it. So many ethnic group, many tradition, believes, foods, historied building, language in different province. We could share this uniqueness to other people in the world and make them visited Indonesia like in uncover destination. We also know that tourist only know Bali when they heard Indonesia. Indonesia with richness destination of tourism should be explored by everyone. They must be supported by citizen, government, stakeholder, media, and also we should recommended this in every way.

Another side of country with terrorism issue and disaster area should be interested thing we could promote to everyone. Indonesia is beautiful with their each uniqueness.