Kota besar
sering dijadikan sebagai salah satu panutan kualitas pendidikan di Indonesia,
apalagi jika termasuk salah satu ibukota propinsi. Namun anggapan tersebut tak
selamanya benar. Sekolah swasta yang selama ini independent dan dinilai unggul masih juga merasakan pahitnya
kualitas kurikulum, guru, dan terutama muridnya.
Banyak murid
yang berasal dari keluarga kurang mampu bahkan di garis kemiskinan sering
terkena dampak ini. Berbagai alasan klise seperti membantu orangtua bekerja
sepulang sekolah dengan menjadi tukang rumput hingga terlambat datang ke
sekolah karena harus ke sawah terlebih dahulu. Proses penyerapan informasipun
tak dapat maksimal, selain itu mereka juga masih sering bolos sekolah sebagai
bagian dari hak yang ingin mereka dapatkan. Padahal mereka memiliki sepeda
motor, rajin mengakses internet, dan memiliki telepon genggam. Bukan lingkungan
yang terpencil dan jauh dari segala akses, namun berada pada lingkup kota dan
bisa dikatakan sebagai sekolah pinggiran.
Hal ini saya
alami ketika menggantikan guru yang KKN (kuliah kerja nyata) selama 1,5 bulan
si sekolah SMA swasta di Semarang sebagai guru Bahasa Inggris tahun ini. Tanggung
jawab yang besar pula ketika murid-murid tidak memiliki LKS (lembar kerja
siswa) sebagai buku latihan. Lebih parah lagi, bahkan mereka sebenarnya kurang
paham dengan pelajaran Bahasa Inggris sewaktu SMP!
Sedih rasanya
melihat masih ada sekolah yang demikian di kota besar. Akhirnya saya mencoba
mengkonseling mereka satu persatu, karena jumlah satu kelas tak lebih dari 15
orang. Sebenarnya efektif untuk kelas yang ideal, tapi jika tak ada kemauan
untuk belajar dari murid hasilnya kurang maksimal.
Dari konseling
yang saya lakukan ditemukan beragam cerita mengapa mereka masuk sekolah
tersebut. Alasan pertama karena nilai UAN (ujian akhir nasional) mereka rendah,
sehingga tidak cukup masuk sekolah negri. Kalaupun cukup, mereka tidak mampu
membayar uang gedung karena tidak tahu penggunaan kartu miskin. Disini jelas
terlihat bagaimana ekonomi orangtua mereka, karena siapapun yang beranggapan
keluarganya pada kondisi bagaimana adalah benar. Ada beberapa yang mampu, namun
tetap memasukkan anaknya di sekolah tersebut karena nilainya.
Hal ini
menjadikan saya untuk setidaknya membuat mereka sedikit paham dengan Bahasa
Inggris. Tak usah muluk-muluk seperti mengarang, cukup dengan meminta mereka
menyebutkan vocab yang mereka tahu. Bahkan
saya memancing mereka dengan banyak permainan seperti program Rangking 1 di
salah satu stasiun tv swasta. Dengan cara membuat soal pilihan ganda di kertas
yang saya jadikan papan, mereka tinggal menjawab pilihan tersebut dan
menuliskan jawaban di kertas mereka lalu mengangakat jawaban. Tentu saja
setelah sebelumnya saya beri materi.
Metode pengajaran
yang selama ini terkesan berjauhan tempat duduk, saya buat melingkar seperti
diskusi sehingga semua paham dan tidak malu merespon atau bertanya. Hasilnya cukup
efektif, beberapa dari mereka mengakui lebih paham setelah duduk melingkar
dalam belajar meskipun ada juga yang pasif dan tidak mau merespon karena takut
ditunjuk atau ditanyai apapun. Betapa mental mereka masih perlu didukung.
Saya mencoba
mengulangi materi dengan cepat karena sudah menjelang ujian semester. Materi-materi
dari buku lain saya fotocopy, sebarkan
pada mereka, dan membahas bersama. Respon mereka beragam, ada yang antusias,
rajin bertanya, dan apatis. Ketika satu orang mengajak teman sebelahnya untuk
tidak memperhatikan akan memengaruhi yang lain untuk melakukan hal yang sama. Ada
rasa jengkel dan kecewa, namun saya putuskan untuk fokus pada yang mau belajar,
karena saya yakin materi ini akan berguna nantinya.
Hal lain
yang membuat mengelus dada adalah kedisiplinan yang mereka terapkan. Masuk pukul
7 namun murid akan penuh hingga hampir pukul 8. Berharap agar semua memahami,
namun nihil. Kemudian pada jam pelajaran yang terpotong istirahat selam 15
menit, mereka akan melebihkan hingga 45 menit dan sudah tidak dapat dicegah. Jika
jam istirahat diteruskan pelajaran dan waktu istirahat sedikit lebih panjang
menjadi 30 menit, berdampak pada jam selanjutnya dan guru pada jam tersebut
tidak terima.
Itu tadi
adalah cerita untuk kelas sepuluh, sedangakan kelas sebelas lebih rajin untuk
mencatat, memperhatikan, dan berpartisipasi, meskipun ada yang kurang paham. Mereka
murid kelas sebelas ada kemauan bertanya atau membuka kamus. Bentuk permainan
yang saya berikan lebih beragam daripada kelas sepuluh, seperti berkelompok
bermain komunikata dan saya yang memberikan kalimatnya, disini bertujuan untuk
melatih pronunciation untuk
disampaikan kembali dan ditulis di papan.
Namun sungguh
sedih ketika ulangan semester berlangsung. Murid-murid banyak yang gambling alias mengarang atau asal
jawab, bahkan saling mencontek meskipun yang dijadikan rujukan salah. Pembuat soal
adalah dinas pendidikan kota, yang berarti satu SMA di Semarang memiliki tipe
soal tunggal. Banyak vocab yang
benar-benar asing, karena soal ulangan uptodate.
Bagaimana dapat mengerjakan jika selain vocab
tidak tahu mereka juga tidak belajar jelang ulangan semester? Lebih menohok
lagi ketika saya membacakan contoh soal ulangan yang berisi pendapat bahwa
kemiskinan berkorelasi dengan rendahnya pendidikan.
Guru-guru
lainpun mengatakan bahwa fenomena ini sudah wajar dan meyakinkan bahwa
murid-murid sudah dipastikan remidi semua. Semakin sedih mendengarnya, lalu apa
guna materi yang telah diajarkan? Benar saja, memang semua wajib remidi
termasuk mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia dan Matematika.
Jelang pengisian
raport, guru-guru tiap mata pelajaran berusaha membuat nilai mereka sesuai
standar. Saya putuskan meskipun harus demikian, saya akan membuat mereka paham
dengan apa yang mereka kerjakan. Pada sesi remidi, saya bagikan soal dan
membacakan tiap murid untuk mengerjakan hanya soal yang salah. Kemudian saya
bacakan aturan saya agar mereka mengerjakan sendiri dan saya bacakan terjemahan
tiap soal agar mereka lebih memahami dalam Bahasa Indonesianya. Lebih baik
demikian daripada remidi namun dengan gambling
lagi dan remidi hanya formalitas. Guru-guru sudah pasrah dengan keadaan
murid yang demikian, karena motivasi belajar murid yang sangat rendah.
Beberapa hasil
tambahan konseling yang saya lakukan bahwa mereka tidak ada satupun yang ingin
melanjutkan ke jenjang kuliah, bagi mereka cukuplah sekolah mendapat ijazah
lalu membantu orangtua bekerja. Meskipun saya telah memancing jika mereka
mendapat beasiswa full. Mereka juga
curhat mengenai pengajaran guru lain yang tidak dapat dipahami tapi lebih
memilih untuk diam.
Sempat terpikir
untuk memberikan mereka semua kamus secara gratis dan menjadi inventaris
sekolah, namun saya tangguhkan mengingat sebagian besar tidak ada keinginan
untuk membuka apalagi membawa. Satu hal yang belum sempat saya lakukan adalah
memberikan psikotes sederhana untuk mengetahui motivasi belajar mereka. Dalam pengamatan,
Besarnya pengaruh teman-teman dalam peergroup
membuat mereka malas belajar apalagi mengerjakan tugas.
Beruntung mereka
tidak tejebak pada pergaulan bebas atau pengaruh obat terlarang dan berurusan
dengan kepolisian. Kenakalan mereka masih wajar, yakni membolos dalam satu
bulan minimal 5 kali hingga 16 kali dengan alasan malas belajar, malas dengan
gurunya, dan berbagai alasan lain.
Saya hanya
berharap mahasiswa yang berada di kampus keguruan (background saya bukan keguruan) untuk melakukan PPL (praktek
pengalaman lapangan) di sekolah pinggiran, sekolah swasta yang masih diakui
atau disamakan, bahkan belum memiliki akreditasi, sekolah dengan fasilitas yang
minim karena saya yakin antusiasme mahasiswa masih tinggi untuk membuat
perubahan di sekitarnya terutama dalam pengajaran. Treatement terhadap murid ber IQ standar cenderung rendah adalah
dengan telaten, perhatian, dan sabar. Saya yakin mahasiswa PPL dapat
melakukannya.
Semoga hal tersebut juga dapat menginspirasi pendidik di sekolah
tersebut untuk berbenah dengan apa yang dilakukan mahasiswa PPL nantinya, lebih
professional tepatnya. Saya masih berharap mereka layak mendapatkan seperti
halnya anak-anak yang sekolahnya menyandang gelar unggulan dari segala sisi.