Perkembangan media massa di berbagai Negara seperti
Amerika Serikat memang menunjukkan adanya penurunan. Industri media cetak
disana gulung tikar karena masyarakat pindah ke media online. Di Amerika
Serikat, pengiklan memandang surat kabar untuk mencapai target secara massal
dan radio atau majalah untuk konsumen yang lebih tersegmentasi. Sementara koran
lokal di Amerika Serikat masing masing merajai di daerah masing masing. Hal
inilah yang menyebabkan sulitnya koran nasional untuk masuk karena konsumen di
tiap daerah memiliki karakteristik sendiri sendiri.
Model bisnis surat kabar di Indonesia focus pada 2
hal, yakni mengakomodasi apa yang diinginkan pembaca dan memberikan akses pada
pengiklan. Namun masih sering terpusat pada masyarakat perkotaan. Daya dukung
untuk membeli koran di perkotaan dan pedesaan masih tinggi di perkotaan, masih
dapat dijumpai masyarakat pedesaan yang enggan atau tidak mau membaca atau
bahkan membeli koran setiap hari. Pertumbuhan ekonomi antar wilayah dalam suatu
daerah juga tidak sama, sehingga berdampak pada kemampuan masyarakat untuk
mendapatkan surat kabar. Masyarakat yang memiliki daya beli tinggi masih berada
di Jakarta dan kota kota di pulau Jawa, sisanya berada di luar Jawa.
Pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih pesat
dibanding pedesaan. Angka buta huruf di Indonesia tahun 2013 5,86% untuk usia
15+, untuk usia 15-44 di tahun yang sama 1,61%, dan usia 45+ 15,24% (BPS,
2013). Setiap tahun, angka buta huruf semakin menurun, namun penurunan angka buta
huruf ini juga diiringi masuknya teknologi baru yang memudahkan masyarakat
mengakses informasi melalui internet.
Indonesia Negara berkembang, bukan Negara maju
dimana teknologi adalah hal yang biasa. Negara berkembang memiliki potensi
besar namun juga memiliki masalah kompleksitas. Tantangannya adalah orang yang
masih buta huruf akan lebih memilih media audio visual (televisi) karena hanya
butuh mendengar dan melihat atau radio yang bersifat theater of mind. Golongan ini belum mau menyentuh gadget.
Tantangan lain adalah dari jumlah penduduk yang baru
saja bisa baca tulis bahwa orang yang sudah bisa baca tulis tidak lantas dengan
mudah memahami dan mau menggunakan alat alat teknologi canggih. Mereka tetap
butuh suatu kondisi untuk beradaptasi dengan kebiasaan membaca cepat,
menganalisis jenis jenis bacaan, serta kemauan untuk membaca itu sendiri.
Perkembangan teknologi memang luar biasa, namun
tidak semua penduduk mengikuti gaya hidup yang serba teknologi, karena terbiasa
memegang smartphone dan social media akan menguras lebih banyak waktu dan
perhatian untuk tahu informasi dan kabar. Koran masih dipilih karena orang
dengan mudah akan membolak balik halaman, membaca yang disukai, melipat, atau
membuang/menyimpan.
Media yang akan bertahan adalah media yang mampu
mengikat rasa memiliki atau kebersamaan dari komunitas. Ketika komunitas
diberitakan aktivitasnya atau ada hal hal baru yang bermanfaat untuk
komunitasnya, maka media tersebut akan dipilih. Kecenderungan warga di daerah,
mereka jenuh dan merasa koran belum mewakili keinginan mereka, atau bahkan
porsi pemberitaan daerah mereka kalah dengan ibukota. Konten yang sesuai dan
memenuhi kebutuhan masyarakat, membuat masyarakat terdoorng keinginan untuk
membaca dan membeli.
Potensi media cetak di luar Jawa lebih prospektif
dibanding di Jawa. Hasil riset Nielsen sepanjang tahun 2010-2014 menunjukkan
tingkat konsumsi media cetak di lima kota besar luar Jawa seperti Medan,
Palembang, Denpasar, Makassar, dan Banjarmasin lebih tinggi dibanding 5 kota
besar di Jawa. Lima kota besar tersebut yakni Jakarta, Bodetabek (Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi), Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Nielsen juga
mengakui bahwa sampel belum mewakili seluruh populasi Indonesia.
Penetrasi konsumsi koran di Jawa pada 2010 15%, lalu
turun menjadi 11% pada tahun 2014. Di luar Jawa, penetrasi koran mengalami
peningkatan dari 23% pada 2010 menjadi 26% pada 2014. Ketergantungan internet
di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa. Adanya internet saat ini dimanfaatkan
masyarakat untuk mendapat informasi ringan yang gratis, dapat dibaca sekilas,
dan tentu saja bisa berupa audio visual. Hal ini berdampak pada penurunan oplah
koran. Diprediksikan bahwa koran di Indonesia masih tetap akan bertahan selama
20 tahun ke depan, media yang tetap bertahan adalah yang mengedepankan konten
lokal dan mampu memberikan rasa memiliki atau mewakili dari suatu komunitas.
Meskipun koran menurun oplahnya, koran lokal dengan
konten yang tepat akan bertahan. Pangsa koran lokal adalah komunitas, semua
segmen, dan masyarakat yang tidak mau terkena dampak teknologi. Sebaliknya,
anak muda atau usia produktif akan lebih sadar dengan teknologi dan semakin
tergantung dengan gadget karena praktis.
Internet tetap dibutuhkan sebagai syarat menjadi
Negara maju, meskipun pembangunan sumber daya manusia di Indonesia belum
merata, ketimpangan antara di kota besar yang pertumbuhan ekonomi serta
ketergantungan teknologi tinggi. Berbeda halnya di desa yang ketergantungan
teknologi tidak tinggi namun dari sisi ekonomi ada peningkatan. Pertumbuhan
ekonomi yang bagus diimbangi dengan pola konsumsi yang baik termasuk untuk
konsumsi informasi.
Bagaimanapun juga industri koran akan bertahan
dengan pasar yang lebih segmented,
yang dikombinasikan dengan website berbayar, mengikat komunitas, dan memenuhi
mereka golongan yang tidak tersentuh teknologi/ tidak mau berurusan dengan
teknologi
Sebaliknya golongan usia produktif yang kelak akan
memimpin akan semakin memiliki keragaman kebijakan yang tidak meninggalkan koran
begitu saja. Dalam beberapa tahun ke depan ketika syarat sebagai Negara maju
terpenuhi, masalah dan kompetisi yang dihadapi berbeda dengan sekarang.
Indonesia dengan kompleksitas masalah sebagai Negara berkembang tetap
mempertahankan budaya yang ada dan tidak lantas begitu saja beralih ke budaya
baru dengan hadirnya teknologi terbaru.
Fitri Norhabiba
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Undip, penerima
BPPDN Dikti 2013
see full article on http://jurnal.polines.ac.id/jurnal/index.php/ragam/article/view/574